Pada waktu saya berusia balita sampai dengan SD, saya sering sekali diajak oleh Papa saya ke Toko Buku Gunung Agung yang letaknya tepat di Gedung Internusa (sekarang Pangrango Plaza & RS Siloam) di depan Kebun Raya Bogor pintu III. Di toko tersebut saya dibebaskan membaca dan memilih buku mana yang saya mau beli. Beberapa buku yang gambarnya menarik seringkali menarik perhatian saya, tapi hanya beberapa buku saja yang saya ingat pada usia tersebut hingga sekarang dan kadang seringkali terngiang cerita, tokoh, dan gagasan, dan pengalaman-pengalaman yang dihadirkan dalam buku tersebut yang membuat saya berpikir dan bertanya kenapa dan kenapa setelah saya membaca buku-buku yang sepertinya terus melekat itu.
Buku yang dibeli tahun 1994 di Toko Gunung Agung Bogor dengan harga Rp 3.500, buku ini sudah diberikan ke Rangga(lebih…)
“Sepertinya ada yang belum terjawab? Kenapa ya?” kata Charlotte Maria Shaw Mason di setiap malam yang tenang di kamarnya dikala ia mengevaluasi ragam pemikiran filsuf masa lalu. Kira-kira mungkin seperti itu reka ulang imajinasi saya ketika membayangkan situasi yang terjadi puluhan tahun silam
Bertahun-tahun mempelajari tentang pemikiran para filsuf terdahulu dan menjadi praktisi pendidikan membuat Charlotte Mason (CM) resah, gelisah dan tidak puas. Seperti ada kurang dan belum menjawab hal-hal yang penting seutuhnya dalam pendidikan, dalam hidup. Apalagi ketika melihat sistem pendidikan Inggris dan Eropa pada saat itu dimana terlihat banyak kegagalan. Banyak saran, opini, model dan modul terhadap sistem pendidikan tapi belum menjawab pendidikan karakter yang bisa lebih adaptif terhadap situasi, lebih holistik dan berlandaskan hukum kebenaran yang universal.
Keresahan yang dirasakan oleh CM terasa sekali dari paparan Mba Ayu di kelas fondasi CM bagian kedua yang menceritakan tentang usaha CM selama 30-40 tahun untuk menguji segala metode pendidikan dengan menggunakan proses induktif dan aplikatif. Perjalanan CM akhirnya membuahkan suatu bentuk, suatu panduan, bukan dalam metode kaku, tapi dalam prinsip. Ya, prinsip. Sebuah kata yang membuat kami para peserta bingung dan merasa ‘malam Sabtu ini lumayan berat yah’ 🙂
Apa itu prinsip? Apakah di dalam prinsip ada motif? Apakah prinsip itu sesuatu yang pasti akan berlaku setiap waktu dalam setiap individu? Prinsip kamu apa?
Pertanyaan demi pertanyaan hadir dalam diskusi. Ini membuat saya semakin berpikir dan kembali mempertanyakan tujuan dari pendidikan yang muncul di pertemuan pertama.
Ada apa dengan prinsip dan kenapa harus prinsip dalam pendidikan anak?
Prinsip sangat penting dalam filosofi pendidikan CM. Prinsip akan menjadi fondasi dan landasan individu (misalnya anak) akan merespon dan bertindak terhadap suatu hal. Prinsip akan memandu manusia untuk bertindak selaras dan melakukannya dengan penuh kesadaran. Sesuatu bisa jadi prinsip, bukan hanya dibicarakan saja, tapi juga dipahami. Dengan adanya prinsip, pendidikan akan lebih adaptaif tidak lagi mengkotak-kotakan metode yang dipakai tapi akan lebih menyesuaikan dengan situasi keluarga, lingkungan, dan tak lekang oleh waktu.
Lalu apa saja prinsip atau butir dalam pendidikan CM?
Prinsip dalam memandang anak: anak sebagai individu yang utuh
Dalam memandang anak, kita menerapkan sudut pandang dan harus memahami betul bahwa anak merupakan manusia yang dari lahir mempunyai kepribadian yang utuh. Setiap anak sudah punya template-nya masing-masing dan bukan sebagai ember kosong atau kertas kosong yang bisa diisi sesuka hati secara otoriter tanpa kesepakatan
Cara berkomunikasi dan berelasi dengannya, sama dengan kita berelasi dengan manusia lainnya. Setara, semartabat, dan saling menghargai. Kesepakatan, sadar akan haknya dalam menentukan pilihan, dan memfasilitasinya untuk bisa belajar memenuhi kewajibannya adalah bagian dari proses pemenuhan prinsip
Yang perlu dipahami adalah, bahwa anak tidak pakem baik dan buruk tapi ada kemungkinan baik dan buruk
Prinsip dalam otoritas dan ketaatan: keduanya bersifat alamiah dan dibatasi oleh respect
Otoritas dan ketaatan berlaku bagi semua orang, baik diterima atau tidak itu adalah sesuatu yang alamiah yang harus dipenuhi untuk menciptakan keharmonisan
Namun dalam menerapkannya kepada anak, kita sebagai orang tua harus menghargai kepribadiannya, karena otoritas bukanlan lisensi untuk menyakiti anak.
Orang tua dilarang mempermainkan rasa cinta, rasa takut, sugesti, atau kharisma, atau hasrat-hasrat alamiah anak lainnya
Prinsip dalam instrumen pendidikan: Pendidikan adalah atmosfir, disiplin, kehidupan
Pendidikan adalah atmosfir ini saya memahami bahwa anak mempunyai kebebasan dalam berpikir dan belajar dari aktivitas alamiah kesehariannya yang nyata. Bukan menciptakan atmosfir yang dibuat-buat atau artifisial
Pendidikan adalah disiplin – sesuatu yang dilakukan secara rutin, terencana, sehingga melahirkan kebiasaan-kebiasaan yang positif yang berkelanjutan. Bukan dengan paksaan, tapi dengan berkesadaran. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi habit.
Pendidikan adalah hidup. Ragam pengetahuan, wawasan, gagasan adalah hak anak untuk mendapatkannya. Orang tua didorong untuk memfasilitasinya ketika anak yang secara naluri dan alamiah mempunyai rasa ingin tahu dengan hal tersebut. Karena ini akan menjadi bekal hidup seiring tumbuhnya usia. Mungkin di usia awal anak, orang tua sebagai mentor, tapi seiring berkembangnya usia, orang tua bisa saja menjadi teman belajar bersama.
Prinsip dalam penerapan instrumen pendidikan: paham tentang perilaku akalbudi dan betapa luar biasanya pikiran dan kemampuan anak dalam belajar
Akalbudi adalah berkah Sang Pencipta yang ada dalam anak kita. Akalbudi ini dirancang untuk menerima, mengolah pengetahuan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu, melatih anak untuk memanfaatkan akalbudinya sangat perlu dilakukan.
Akalbudi bersifat aktif, tidak pasif. Metode belajar dengan narasi yang indah, berdiskusi, dan mengaitkannya dengan hal-hal nyata yang ada di sekitarnya lebih penting dibanding membebani anak dengan tsunami informasi.
Menyajikan fakta dan alasan dalam menyajikan ide sesuai dengan minat, bukan sebagai doktrin tanpa latar belakang.
Menggunakan pendekatan yang kontekstual dalam setiap topik pendidikan. Sehingga anak bisa menghubungkan dan merelasikan pengetahuan tersebut dengan masalah atau kebutuhan yang ada. Bukan pengetahuan yang akhirnya tidak ada manfaatnya.
Rancang kurikulum tanpa membedakan kelas sosial (prinsip kesetaraan) dengan mempertimbangkan tiga aspek: kuantitas, variasi, dan kualitas
Prinsip sekali baca (single reading) kemudian dinarasikan harus disiplin dilakukan. Bukan dengan model pengulangan terus menerus yang melemahkankan. Pengetahuan hanya akan menjadi hafalan saja jika proses pengulangan bacaan dilakukan. Untuk anak bisa memiliki pengetahuan tersebut harus dinarasikan dan dipraktikkan.
Prinsip dalam pembimbing pertumbuhan moral dan intelektual anak: mengenalkan hukum kehendak (the way of the will) dan hukum nalar (the way of reason)
Anak diajari agar bisa membedakan keinginan dan kebutuhan, sehingga ia bisa mempunyai kemampuan dalam berkehendak. Pengalaman mencoba kegiatan secara spontan, baik berhasil ataupun gagal merupakan proses pertumbuhan moral dan intelektual yang baik. Cara ini tidak membunuh orisinalitas karakternya.
Anak diajari cara mengelola nalar terhadap sesuatu ide, gagasan, atau situasi yang harus ia kehendaki. Tujuannya agar ia bisa menentukan pilihannya secara sadar, tahu resiko, tidak asal-asalan. Pada akhirnya anak bisa belajar kecewa dan bahagia dari pilihannya itu.
Prinsip dalam menerapkan kebenaran: sains dan spiritual tidak terpisah. Keduanya saling melengkapi
Kebenaran universal adalah kebenaran yang berlaku dan hadir dalam setiap insan, karena kebenaran itu berasal dari Tuhan.
Kebenaran yang didapat dari proses sains dan spiritual bisa diterima oleh anak sebagai kebeneran yang memandunya untuk seimbang dalam hidup di dunia
Menarasikan prinsip CM ini membuat saya dan istri punya sekali banyak PR, bukan PR bagi anak tapi bagi kami sebagai orang tua. Karena pada hakikatnya prinsip yang adaptif terhadap ragam situasi keluarga, lingkungan dan jaman ini akan bisa jadi prinsip kami ketika kami paham dan mencoba menerapkannya sedikit demi sedikit dalam keseharian. Mudah untuk dibaca butuh proses dan usaha untuk bisa diinternalisasi dalam perjalanan berlajar caranya hidup saya, Fety, dan Rangga.
Saya pernah ikut sebuah talkshow pada tahun 2006 silam tentang self-development. Dari talkshow tersebut dibahas suatu konsep yang menarik tentang bagaimana membaca buku bisa mengubah seseorang di masa depan. Kira-kira konsepnya seperti ini:
keadaan kita hari ini adalah cerminan dari apa yang kita baca lima tahun lalu. Diri kita lima tahun yang akan datang adalah sebuah hasil dari apa yang kita baca hari ini
Strategi Digital yang efektif memang tidak bisa disamaratakan untuk semua bidang, baik itu untuk brand, gerakan sosial, maupun kampanye untuk sebuah produk startup. Setiap industri pasti memiliki environment dan insight yang berbeda. Tapi jika kita mempelajari beberapa Studi Kasus beberapa Strategi Digital yang sukses dan efektif, ada beberapa kesamaan yang bisa menjadi referensi.
1. Berangkat dari konsep yang jelas.
Dalam menyusun konsep dari suatu strategi digital yang efektif, kita bisa memulainya dari sebuah insight yang kuat. Insight yang powerful bisa didapat dari riset yang benar. Sebelum memulai riset, seorang Strategist (orang yang bertanggung jawab dalam menyusun strategi) harus benar-benar bisa menggali insight dari brand & produk itu sendiri, target audience, dan market.
Beberapa brand dan startup yang sukses memulainya dengan melakukan beberapa riset primer dan sekunder dari target audience. Untuk yang riset primer, biasanya mereka melakukan Focus Group Discussion, face-to-face interview, atau mencari langsung Share of Voice dari social media dimana target audience yang banyak berkumpul. Sedangkan riset sekunder bisa didapat dari report / hasil riset pihak lain
Setelah mendapatkan insight dari Target Audience, baru kemudian dikawinkan dengan Brand dan Product Values untuk menemukan WHY? Marketing Guru, Simon Sinek dengan jelas mengatakan “Start with Why?” agar bisa meninspirasi konsumen untuk mengambil action yang kita mau.
“People don’t buy what you do; people buy why you do it.”
Simon Sinek
2. Menentukan Channel utama dan Supporting Channel yang tepat.
Strategi Digital yang ciamik ternyata tidak harus menggunakan semua channel untuk melakukan promosi. Belum tentu setiap channel itu pas dengan Target Audience. Apakah website ternyata menjadi channel utama, dan Social Media / mobile yang menjadi channel pendukung, atau bisa sebaliknya.
Ketika memilih Social Media pun sebaiknya dipikirkan SM mana yang pas. Ya kita tahu bahwa Indonesia menjadi pengguna Facebook kedua tertinggi di dunia, dan menjadi Negara paling cerewet di Twitter, tapi apakah benar itu channel yang pas untuk produk kita? Belum tentu.
Ambil contoh, produk kita adalah sebuah device pelacak truk tambang yang terintegrasi dengan web yang digunakan oleh para manager operasional atau suatu sistem yang berguna untuk perusahaan yang mengandalkan teknologi terbaru (produk B2B),
Mereka jarang menggunakan Facebook, apalagi twitter. Yang paling sering mereka akses hanya email, search engine untuk mencari informasi, dan online news. Jadi jelas sekali social media bukan channel yang tepat, malah Website/Blog menjadi channel utama dengan pendekatan e-Direct Marketing, dan strategi SEO & Media Placement/Online Advertorial, atau mungkin Brand Content Experience di sebuah online media menjadi pilihan yang paling efektif.
Buat strategi dan pilih channel yang sesuai dengan karakter audience kita.
3. Fase Campaign yang terarah, mempunyai benang merah, dan sesuai dengan Marketing Plan.
Banyak strategi digital yang gagal “kena” di hati audience karena hal yang sederhana: Konsistensi. Banyak brand yang melakukan A, B, C Campaign, tapi dalam setiap campaign tidak ada konsistensi dari sisi message dan tone. Disamping itu, inkonsistensi terlihat jelas antara Digital dan ATL (Above-The-Line)/BTL.
Buatlah fase campaign yang terintegrasi antara online dan offline. Pilih jenis campaignnya, apakah digital driven yang berarti ATL/BTL sebagai support, atau sebaliknya.
4. Orisinalitas Konten.
Konten yang bisa meluluhkan, menginsipirasi, dan mempengaruhi konsumen adalah suatu keharusan. Konten tersebut bisa masuk ke dalam alam bawah sadar sehingga membuat mereka membicarakan, membeli, bahkan mencintai sebuah brand & produk. Konten yang seperti ini harus konten yang original.
Konten yang original bukan berarti konten tersebut benar-benar asli dan tidak bisa ditemui dimanapun, tetapi konten yang mengambil angle lain yang sesuai dengan Target Audience.
5. Endorser yang tepat dengan konten yang relevan,
Sama dengan sebuah campaign ATL/BTL,dalam strategi digital penggunaan endorser bisa menjadi salah satu tools pendukung yang efektif. Pilih endorser sesuai karakter brand kita, jangan pilih berdasarkan popularitas saja. Endorser di dunia digital sering disebut dengan KOL (Key Opinion Leader), para KOL ini mempunyai massanya masing-masing dan gaya komunikasinya sendiri, baik didalam blog atau follower dari KOL tsb. Tujuan utama dari penggunaan KOL adalah menciptakan conversation terhadap brand / produk kita.
KOL ini tentu saja bisa berbayar atau tidak berbayar, tergantung dari seberapa bernilainya brand/produk kita dimata mereka. Ada banyak campaign yang menggunakan paid influencer/KOL berbayar tapi hasilnya kurang maksimal, karena mereka tidak menimbulkan impact yang luas, konten yang terlalu jelas bahwa konten tersebut berbayar, dan tidak relevan dengan brand.
Jika memang berbayar, sebaiknya menggunakan strategi efek bola salju agar hasilnya maksimal dengan konten yang relevan dan natural (jangan terlihat seperti berpromosi).
6. Mempunyai Measurement Framework yang sesuai dengan business objectives.
Kita akan tahu bahwa strategi digital yang dibuat apakah berhasil dan efektif berdasarkan hasil yang kita dapat. Tapi hasil yang seperti apa? Bagaimana untuk mengetahui hasilnya (Output dan Outcome)? Pertanyaan seperti ini bisa kita jawab ketika kita mempunyai sebuah kerangka pengukuran / Measurement Framework.
Measurement Framework yang benar, tidak melihat dari metrics apa yang akan dipakai, tapi melihat objective bisnis/campaignnya apa. Kemudian darisitu, kita menentukan kira-kira metrics yang utama apa, dan KPInya berapa.
Saat ini, masih banyak yang terjebak dalam metrics yang tidak menjawab kebutuhan bisnis, seperti dalam social media, , banyak yang lihatnya dari berapa jumlah likes, dsb. Sedangkan ada Metrics lain yang lebih menjawab kebutuhan brand.
Berikut adalah beberapa contoh bagaimana measurement framework yang menjawab business objectives.
7. Optimisasi dari semua asset digital yang kita punya.
“Strategi yang ok sudah dibuat, endorser sudah berjalan, konten sudah perfect, channel yang dipilih sudah relevan tapi kenapa masih kurang efektif ya?”
Beberapa brand manager dan digital marketer banyak mengeluh hal yang serupa. Setelah dilihat problemnya, ternyata banyak dari asset digital yang mereka punya tidak teroptimisasi dengan baik, misalkan ternyata dalam salah satu halaman dari website kita ada struktur kode/elemen yang tidak ramah terhadap search engine, timing pada saat kita melakukan twitter update tidak sesuai dengan audience kita, desain kreatif yang ada di cover facebook page kita sangat tidak sesuai dengan brand values, dsb.
Optimisasi dalam setiap asset digital tidaklah mudah. Perlu perhatian detail terhadap setiap bagian. Maka ada baiknya dilakukan review minimal sekali setiap minggunya untuk mengetahui apakah kita semakin membaik atau malah jauh dari efektif.
Belanja online, bagi yang belum terbiasa melakukannya, akan terasa susah-susah gampang, dan mungkin muncul beberapa kekhawatiran.
Kekhawatiran yang biasanya muncul:
menjadi korban penipuan
informasi kartu kredit bocor (menjadi korban pishing)
produk yang dibeli tidak sesuai dengan apa yang ditampilkan di website
harga yang didapat malah lebih mahal dengan yang di toko / mall
pengiriman yang lama / tak kunjung sampai
Di awal-awal ketika mencoba belanja online, saya pun merasakan kehawatiran diatas, bahkan mengalami beberapa diantaranya. Tetapi, seiringnya dengan waktu *tsahh* , dan semakin sering saya melakukan belanja online, kekhawatiran itu sudah lama pergi jauh 🙂
Untuk Anda yang ingin belanja online, saya akan bagikan beberapa tips & trik belanja online yang aman, nyaman, dan hemat. (lebih…)
Selain mobile nation, terkait dengan industri digital, negara kita mungkin cocok disebut sebagai ecommerce nation, atau online shop nation. Menurut IdEA, dalam 5 tahun ke depan pertumbuhan online shopper / pengguna internet yang melakukan belanja online bisa mencapai 75 juta. Berikut adalah cuplikan datanya:
Sekilas data eCommerce di Indonesia menurut IdEA
Tentunya tren ecommerce / toko online ini akan terus berkembang dan meledak. Bayangkan, setiap ada media sosial baru, tiba – tiba tidak lama kemudian muncul lapak. Tiba-tiba profile page mendadak berubah menjadi tempat jualan. Sampai-sampai di postingan apapun selalu saja muncul komentar jualan. Sebagai konsumen, saya malah men-cap negatif untuk toko online yg menjalankan praktik seperti itu. You give ecommerce a bad name!
Spam Toko Online yang lumayan merisihkan. Semakin risih ketika muncul di komentar idola kita 🙂
Dua tahun terakhir ini saya lumayan banyak melakukan aktivitas belanja online. Tidak seperti tiga – empat tahun lalu, dimana saya belanja online-nya masih menggunakan cara tradisional di forum/kaskus/mailing list. Apalagi metode pembayarannyamasih menggunakan transfer bank manual kemudian buktinya dikirim, atau menggunakan metode COD (Cash on Delivery).
Sekarang, toko online sudah semakin baik: keamanan, kredibilitas, sistem pembayaran, proses pengiriman, harga yang lebih bersaing, dan tanggapan customer service yang cepat. Apalagi saat ini sudah ada asosiasi seperti IdEA (Indonesia Ecommerce Association) yang giat dan aktif berkontribusi.
Ada tujuh kategori ecommerce berdasarkan jenis produk yang dijual yang sudah saya rasakan pengalaman berbelanja, yaitu tiket pesawat & hotel, fashion, elektronik, gadget, buku & majalah, keperluan bayi & rumah tangga, sampai dengan groceries. Pengalaman yang saya rasakan berbeda-beda, baik pengalaman negatif sampai dengan yang sangat positif. Berdasarkan pengalaman tersebut saya punya 4 masukan/ide bagi pembaca blog ini yg akan atau sedang menjalankan toko online.
Ketika sedang membuat strategi digital untuk sebuah brand, saya mendapatkan sebuah gambaran/situasi/struktur pengguna internet terhadap informasi. Awalnya saya mengira framework ini hanya sebuah penggambaran dari user search intent (keinginan/niat pencarian pengguna) saja seperti berikut:
Contoh pada brand susu soya. Klik gambar untuk ukuran yang lebih besar.
Ternyata setelah dieksplorasi lagi, framework ini tidak hanya saya dapati dalam situasi konsumen mencari informasi saja, tetapi juga bisa digeneralisasi untuk berbagai macam kebutuhan strategi komunikasi. Diantaranya untuk mengkategorisasi audience untuk basis strategi content marketing, membangun persepsi, isu dan gerakan sosial, sampai dengan krisis komunikasi. Sebagai contoh jika framework ini diterapkan untuk isu & gerakan sosial: (lebih…)
“Kue-nya masih kecil, tapi pertumbuhannya terus menanjak, dan sangat positif”
Kira-kira begitu yang saya simpulkan dari hasil tanya dan denger selama dua tahun terakhir dari para BOD, founder, dan investor di industri digital yang begitu dinamis.
Beberapa minggu yang lalu, eMarketer merilis tool interaktif yang berisi data menarik tentang “Worldwide Ad Spending”. Tentu saja, ketika membukanya untuk yang pertama kali, yang saya cari adalah data tentang negara kita tercinta. Sebenarnya agak miris sih kalau data seperti ini dirilis oleh pihak luar, karena kita kan punya P3I. Tapi… sudahlah.. langsung kepada intinya.
2014: Good Ending
Di akhir tahun 2013 lalu, eMarketer memproyeksikan jumlah digital ad spending di 2014 diperkirakan mencapai $420 juta atau sekitar Rp 5.24 trilyun, sedangkan yang tercatat dari riset eMarketer mencapai $530 juta, atau sekitar Rp 6,6 trilyun (*perkiraan $1 = Rp. 12.485).
*klik gambar untuk ukuran yang lebih besar
Bagaimana dengan pengeluaran iklan di mobile internet? (lebih…)
Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2010 pertengahan, saya membaca beberapa profil digitalpreneur yang sukses di usia 26, tidak hanya sukses dari sisi bisnis tapi ada juga yg sukses dari sisi impact sosial yang dia buat. Saat itu saya berkata pada diri sendiri, “Saya juga di usia tsb harus bisa seperti mereka”
Alhamdulillah di usia 26 saya dan partner merintis Communicaption. Meskipun sama sekali belum terlihat dampak profit yang signifikan dan tentunya social impact yang belum terasa, tapi Alloh menjawab keinginan saya, dan berharap saya terus mengejar cita-cita saya tsb. (lebih…)
Nigel Marsh, pakar marketing, strategi, dan organisasi kreatif melakukan pencarian eksperimen tentang bagaimana konsep work-life balance bisa bekerja. Berikut adalah penjelasan yang ia ungkap di TED:
Satu tahun terakhir ini saya aktif menjadi trainer & instructor di IMII. Thanks untuk teman saya Nanda yang sudah memberikan saya kesempatan untuk berbagi pengetahuan tentang digital & social media. Saya juga sangat senang bisa belajar bersama dan berkolaborasi dengan speaker lainnya di setiap sesi training. Untuk topik training, saya dipercaya untuk menyampaikan topik Digital Roadmap, Digital Marketing, Social Media & Online PR, dan Social Media for Internal Communication & Collaboration.
Di training ini saya juga bisa belajar dari peserta dan mengetahui bagaimana peta kematangan digital industri di Indonesia sebenarnya. Digital is one of our nation potential market in the future! Serius! (lebih…)
2013 saya seperti melakukan hiatus. Hiatus dari menulis rutin di blog ini, ‘bersuara’ di social media, melakukan networking, sampai dengan hiatus membuat sebuah karya nyata.
Iya, tapi sebenarnya sibuk alasan klise. Alasan sebenarnya adalah saya kehilangan gairah karena terlalu banyak melakukan planning. Iya perencanaan. Ada yang bentuknya proposal ada yang bentuknya roadmap, dsb.
Planning itu memang penting. Tapi saya sadar, ternyata orang yang tidak pernah melakukan planning, dan langsung beraksi malah lebih punya tempat dan seperti berjalan maju (ada progress!). Itu makanya, profesi Strategist & Analyst tidak terlalu banyak di negeri ini, karena bebannya pikirannya berat. Yup, dia harus berpikir sampai ngebul, riset, menjabarkan detail setiap konsep, dsb. Tapi tidak ada penilaian / penghargaan yang fair.
Kenapa? Karena khalayak tidak bisa melihat keindahan dari sebuah strategi, sampai strategi atau rencana tersebut dijalankan.
Satu lagi, kebanyakan khalayak ketika sedang menjalankan sebuah rencana atau roadmap akan melupakan rencana detail yang sudah dibuat. Mereka akan fokus ke bagian-bagian yang mereka anggap penting. Analoginya: (lebih…)
Di tempat kerja sebelumnya, saya seringkali melihat digital hanya dari dua sisi saja, creative part & measurement part. Hasilnya, beberapa project berakhir seperti konser dengan banyak performance art, tata panggung dan cahaya yang spektakuler, diobrolkan oleh pengunjung, ya paling lama sebulan, lalu… berakhir begitu saja. Begitu tau feedback (yang nyatanya dangkal) dari konser tersebut malah sudah puas. Selanjutnya.. nanti-nanti bikin konser yang beda di konsep kreatifnya saja.
Tapi semenjak di tempat yang baru, dengan pikiran yang terbuka, saya banyak belajar esensi dan big picture dari sebuah kerangka digital yang utuh. Bersama teman-teman di kantor yang sebelumnya, kami mencoba menjabarkan dan melihat sebuah kolaborasi yang seharusnya dijalankan bersamaan tanpa ada judge bahwa “bagian yg ini hanya pelengkap ya.” Sehingga, kami muncul dengan sebuah kerangka hasil kolaborasi antara Creative, Optimization, dan Measurement, kami menamakannya Full Circle Digital Framework: (lebih…)