Kurikulum yang Kaya dan Setara dalam Pendidikan Anak


Pada saat SD hal yang paling menyenangkan yang selalu saya nantikan adalah jajan dan bermain dengan teman di parkiran mobil jemputan sekolah. Di SMP lebih banyak lagi: ekskul Taekwondo dan Drum Band, bermain Smackdown, bermain PS di rumah teman, class meeting, bermain Skateboard dan BMX, sampai dengan jajan di kantin. Di SMA luar biasa banyaknya, tapi kurang lebih agak mirip dengan SMP, ada ekskul, bermain games di warnet, membuat film, jadi bagian panitia dari suatu kegiatan sekolah, latihan band, bermain bola, dan aktivitas lain di luar mata pelajaran. Jadi dari SD, SMP, dan SMA belajar dengan kurikulum yang sudah diubah berkali-kali itu benar-benar tidak melekat pada saya. Hanya sebuah keharusan atau syarat yang saya harus jalani sebagai seorang murid sekolah. Bosannya luar biasa. Bel sekolah antar mata pelajaran, bel sekolah waktu istirahat, sampai dengan bel sekolah waktu pulang adalah sesuatu yang menggembirakan. Sesuatu yang ditunggu-tunggu hingga hati ini lega dan bersorak.

Tugas atau PR dan ujian dijalani hanya untuk tetap bisa bertahan, tidak dimarahi ortu, dan dapat nilai bagus. Bahkan relasi dengan guru saya yang bermakna tidak terjadi di jam pelajaran, tapi terjadi di luar mata pelajaran. Ngobrol tentang keluarganya, hobinya, sampai membahas persiapan ngeband saya. Saya hanya belajar pada saat mau ujian saja, yang penting dapat nilai cukup, meskipun jelek ada kesempatan remed dengan pilihan membuat paper bukan ujian ulang lebih enak. Saking bosannya saya, saya pernah bolos pelajaran Fisika berturut-turut dan menunggu di kantin. Guru Fisika saya sudah tidak lagi memarahi saya, yang ada malah kesepakatan nilai. Saya memang tertarik untuk masuk IPS, lalu dia menawarkan untuk masuk kelas saja supaya tidak ada masalah dengan wali kelas dan kepala sekolah, sehingga dia menutup mata akan hasil-hasil ujian saya dan bisa memberikan nilai di rapot 7 hanya dengan masuk pas pelajarannya.

Dari pengalaman ini, apakah sistem sekolah dengan kurikulumnya tidak berhasil memberikan manfaat yang optimal untuk siswa? Mari kita coba refleksikan bersama dengan pengalamannya masing-masing karena hal ini terjadi juga pada masanya Charlotte Mason dimana waktu itu beliau menilai kurikulum sangatlah berantakan. Situasi kurang lebih sama saat ini, dimana kurikulum dengan ragam pelajaran, durasi, dan tugas diciptakan untuk menciptakan suatu sistem kompetisi untuk naik kelas, masuk perguruan tinggi (dengan model akreditasinya) dengan tujuan utama yang sering diagung-agungkan “bisa lulus langsung kerja”. Kesempatan menjalani jalur ‘masuk sekolah dan perguruan tinggi favorit kemudian bekerja’ ini diperparah dengan situasi diskriminasi karena faktanya yang boleh menikmati hanya yang punya kemampuan ekonomi. Dalam kritiknya CM menyebutkan bahwa pendidikan jelas-jelas kini ada dalam kendali prinsip ekonomi, hukum penawaran dan permintaan.

Kenapa sedikit sekali murid yang menanti-nanti pelajaran sekolah dan menjalaninya dengan penuh sukacita? Padahal kurikulum pendidikan Indonesia sudah berkali-kali “diupgrade”. Ragamnya ada, variasi ada, kombinasi juga ada, dengan durasi panjang, bukankah itu sudah sangat kaya?

Kenapa tidak ada kurikulum yang setara dengan model pendidikan yang inklusif untuk semua murid?

Apa sebenarnya kurikulum yang kaya dan setara itu?

Dalam pendidikan CM, kurikulum yang kaya itu harus berakar dari prinsip bahwa anak dilahirkan dengan budi yang hidup yang mencari-cari kebutuhannya akan nutrisi dan sajian ide-ide yang kaya. Perilaku budi yang bisa tumbuh sesuai kodratnya ini menjadi esensi penting dalam menciptakan kurikulum untuk anak. Siapapun tanpa kecuali bisa merancang kurikulum yang kaya. Esensi kurikulum yang kaya mempunyai kerangka berikut:

  • Pendidikan adalah sains tentang relasi-relasi. Tidak ada pengetahuan yang tunggal dan bisa berdiri sediri tanpa membutuhkan pengetahuan lainnya. Pengetahuan tentang olahraga dan jasmani membutuhkan pengetahuan tentang nutrisi dan kesehatan spiritual. Pengetahuan tentang penciptaan suatu produk membutuhkan relasi antar pengetahuan. Pengetahuan tentang bermasyarakat membutuhkan pengetahuan dari pengalaman berpikir kritis, ide dan gagasan hidup dari sejarah manusia.
  • Pengetahuan harus bervariasi atau beragam, dikombinasikan, dan dirotasikan dengan durasi yang pendek, tidak membosankan/monoton, serta memancing rasa ingin tahu.
  • Pengetahuan harus dikomunikasikan dengan bahasa yang sastrawi dan terpilih sehingga merangsang daya nalar anak. Inilah salah satu kriteria penting yang terdapat dalam living books.
  • Prinsip sekali baca harus ditegakkan karena pertemuan awal anak dengan pengetahuan adalah pertemuan kodrat dan daya perhatiannya yang besar untuk melahap pengetahuan karena kebutuhan akalbudinya
  • Pengetahuan belum bisa jadi pengetahuan kalau tidak direfleksikan dan dinarasikan. Saya jadi teringat hadis yang menyebutkan “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”. Proses bernarasi membantu anak menggenggam pengetahuan yang ia dapatkan.

Siapapun, tanpa memandang taraf ekonomi bisa membuat kurikulum yang kaya di rumahnya masing-masing. Sehingga anak mendapatkan pendidikan yang sesuai akalbudinya dan kesetaraan pendidikan yang merdeka

Kesempatan belajar dan bertemu dengan pengetahuan harusnya menjadi suasana yang disambut dengan sukacita oleh anak, murid/siswa karena itu adalah kodratnya. Ragamnya membuat ia bisa membuat relasi dari pengeahuan yang ia dapat sehingga bisa membantunya dalam setiap situasi. Kami sebagai orang tua bertanggung jawab untuk menyediakan kurikulum yang kaya dan setara karena itu adalah hak seorang anak ketika ia lahir di dunia sebagai pribadi yang utuh. Inilah esensi dari merdeka belajar sesungguhnya!


Tinggalkan komentar, curhat juga boleh kok

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.