
Ketika kuliah dulu, kira-kira tingkat dua, saya sempat jadi anak “perpus” (perpustakaan) yang menganggap teman terbaik saya saat itu hanyalah sebuah buku. Sebelum masuk kelas, setelah kelas selesai, pada saat istirahat, bahkan akhir pekan saya ke perpustakaan. Akibatnya, banyak acara kampus dan acara kumpul mahasiswa terlewatkan. Hal yang membuat saya betah di tempat yang sepi dan jarang dikunjungi oleh mahasiswa Indonesia itu (yang sering mengunjungi dan berlama-lama di tempat itu ialah mahasiswa asing, didominasi oleh mahasiswa China dan Vietnam) adalah buku-buku antik, berdebu, langka yang saya sering dengar namun tidak pernah ditemui. Salah satunya adalah buku Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker).
Memang buku tersebut bisa dibilang orisinil, dari mulai kertas (yang sudah sedikit digigit oleh rayap) hingga bahasanya (yang masih menggunakan bahasa Belanda). Setelah beberapa lama “meneliti” buku yang sudah uzur itu saya teringat akan peran Multatuli terhadap kolonialisi Belanda. Max Havelaar, adalah suatu bentuk kritisasi terhadap pemerintah Belanda yang terutama VOC yang dijangkiti oleh korupsi dan kesewenang-wenangan. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam tulisannya menyebutkan Max Havelaar adalah “The Book that killed colonialism” (New York Times, April 18, 1998).
Buku itu dinilai telah menyadarkan bangsa ini akan pentingnya sebuah nasionalisme. Multatuli menggambarkannya dalam salah satu bagian buku melalui kisah Saijah dan Adinda. Buku itu telah menjadi “Talk of the Town” hingga secara eksponensial menjadi “Talk of the Nation and the World”. Dengan lahirnya buku itu, tipping point akan nasionalisme terjadi, gerakan-gerakan liberal untuk pembebasan Indonesia bahkan terjadi di Belanda, dan mulai mengubah pola pikir generasi cendekia muda negara ini untuk bangkit hingga mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
A small leap, sure we can do

Tepat hari ini 65 tahun sudah Indonesia merdeka, “merdeka dari penjajah” banyak orang bilang, “tapi belum merdeka lahir dan batin, belum merdeka seutuhnya”. Ya. Saya akui kita belum merdeka sepenuhnya, masih banyak yang lapar, masih banyak yang tidak dapat penghidupan dan pekerjaan yang layak, masih banyak yang sulit mendapatkan pelayanan kesehatan, masih banyak yang terisolir tidak mendapat akses informasi, masih banyak yang putus sekolah, dsb.
Lalu apakah di usia 65 ini kemerdekaan seutuhnya masih sulit diraih? Terus terang, saya sendiri tidak bisa berkata banyak. Tetapi rasa optimis saya perlahan bangkit ketika melihat timeline di twitter sejak kemarin. Banyak sekali orang Indonesia, generasi 2.0 ini yang kritis, bangga, dan cinta dengan Indonesia melalui tweet-nya di #merdeka, #indonesia65 dan #independence (tentu saja jadi Trending Topic).
Momentum Dirgahayu Indonesia yang ke-65 ini harus diikuti dengan lompatan kecil menju perubahan yang lebih baik, tidak hanya dengan berkoar-koar dan seremoni saja. Melalui #indonesia65 kita semua terhubung (connected), sudah satu visi, tinggal memulai aksi. Sangat mungkin sekali #indonesia65 jadi “The hash-tag that rising up the Lion of Asia, Indonesia”
Yang pasti, saya secara individu dan kelompok, sudah bertekad memulainya dari hal yang kecil. Saat ini sedang dalam proses, berkolaborasi dengan teman-teman, memulai “a small leap to create a tipping point”. Semoga di usianya yang ke-65, Indonesia akan semakin lebih baik lagi.
Jadi, mari kita lakukan hal kecil sesuai bidang dan kemampuan kita untuk membuat Indonesia yang Lebih Baik. Sure We Can Do!!

Satu tanggapan untuk “#Indonesia65: Akankah tipping point terjadi di titik ini?”
nice…
SukaSuka